Pada waktu senggang di sela-sela kesibukan studi, saya biasanya mencari hiburan dengan menonto film atau seri drama di aplikasi streaming Netflix. Entah mengapa, kadangkala saya terbawa perasaan haru saat menyaksikan film atau drama tertentu. Seperti pada drama All of Us are Dead, saya merasa terharu ketika melihat seorang Ayah berjuang hingga mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan anak perempuannya di SMA Hyosan dari serangan zombie. Pengorbanan seorang Ayah dalam drama ini mengingatkan saya pada pengorbanan Yesus yang wafat di kayu salib sebagai bentuk cinta-Nya pada kita.
Salib: Kematian & Kemenangan
Hampir setiap hari kita melihat salib dalam banyak rupa. Mulai dari salib yang terpaku di dinding ruangan, salib yang ada dalam manik rosario, atau salib yang dikenakan orang sebagai kalung atau gelang aksesori. Namun, ketika memandang salib-salib tersebut pernahkan Anda bertanya mengapa Kristus harus mati, bahkan mati di kayu salib? Dalam Katekismus Gereja Katolik No. 618, kita menemukan bahwa “Karena dalam Pribadi ilahi-Nya yang menjadi manusia, la seakan akan bersatu dengan tiap manusia.” Maka, kematian Kristus pertama-tama menjadi bukti kebersatuan diri-Nya dengan setiap manusia. Lebih dalam lagi, tujuan Kristus dalam menyerahkan diri-Nya pada kematian di Salib adalah untuk membebaskan kita dari dosa dan maut seperti yang kita temukan dalam 1 Korintus 15: 3, “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci.”
Salib: Cinta yang Mewujud
Keselamatan kita bersumber pada prakarsa cinta Allah terhadap kita, karena Ia “..telah mengasihi kita dan telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1 Yohanes 4: 10). Dalam latihan rohani yang diajarkan oleh St. Ignatius Loyola, Ignatius menuliskan bahwa “Cinta lebih diwujudkan melalui tindakan daripada kata-kata,” (LR. 230). Dan kedua, orang yang mengungkapkan cinta itu pasti akan membagikan apa yang dimilikinya kepada orang lain (share what she/ he has with others). Apa yang Kristus lakukan di kayu salib adalah bentuk cinta Allah yang paling besar untuk umat manusia. Cinta-Nya pada umat manusia tidak hanya lewat katakata belaka, namun lewat tindakan konkret meskipun harus melewati cara yang amat mengerikan. Ia membagikan dan mengorbankan seluruh hidup-Nya kepada kita. Ia mewujudkan pula cinta tersebut lewat kematian-Nya di salib. Cinta tersebut pula yang menjadikan kita selamat dan semakin bersatu dengan-Nya.
Semoga, setiap kali kita memandang salib dan menggunakan tanda salib pada awal dan akhir doa, kita selalu diingatkan akan tanda cinta Tuhan yang tiada habisnya. Salib Kristus itu pula yang mengingatkan kita pada kemenangan umat manusia atas maut dan dosa. Oleh karena itu, marilah kita mohon rahmat agar dalam merenungkan penyaliban dan kemenangan Kristus, Tuhan akan memenuhi hati kita dengan harapan dan mengilhami kita untuk mencintai sesama dengan tindakan konkret dan sederhana.
-FR A. Septian Marhenanto, SJ-
Comments